Peneliti ITS Uraikan Penyebab Tanah Bergerak hingga Longsor di Sukabumi
SURABAYA, SURYAKABAR.com – Bencana alam tanah bergerak hingga tanah longsor yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, beberapa hari lalu mengakibatkan 215 kepala keluarga atau 712 jiwa harus mengungsi ke lokasi lebih aman.
Menanggapi hal itu, peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Ir Amien Widodo MSi menjelaskan, fenomena tanah bergerak di Sukabumi ini akibat berbagai faktor.
Salah satunya perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan. Perubahan tersebut tidak terjadi secara mendadak, melainkan melalui proses panjang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
”Salah satu bentuk perubahan yang paling mencolok terjadi adalah pada lahan di sisi kiri dan kanan jalan yang memotong lereng gunung. Awalnya, pemotongan lereng dilakukan untuk pembangunan jalan, yang secara langsung mengganggu stabilitas lereng akibat peningkatan sudut kemiringan,” ujar Amien, Selasa (10/12/2024).
Selanjutnya, permukiman mulai bermunculan di sekitar jalan, baik di sisi kiri, kanan, atas, maupun bawah jalan. Penduduk sering kali membersihkan lahan dengan menebang pohon, sehingga daya kohesi tanah menurun.
”Kondisi ini diperburuk pemotongan lereng untuk pembangunan rumah, yang semakin meningkatkan sudut kemiringan lereng dan membuat stabilitasnya menjadi semakin kritis,” ungkap pakar geologi ITS itu.
Menurut Amien, semakin banyak dan beratnya bangunan di sekitar lereng berkontribusi pada bertambahnya massa tanah yang memperburuk kondisi. Akan muncul retakan yang semakin lebar, banyak, dan tanah yang semakin turun atau tanah ambles.
Amien menyoroti fenomena cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang akhirnya memperparah kondisi. Pemanasan global meningkatkan intensitas hujan, angin, hingga gelombang laut.
”Dampak ini terlihat pada fenomena La Niña yang menyebabkan curah hujan meningkat hingga 20 persen lebih tinggi dari biasanya. Curah hujan yang tinggi seperti ini menjadi pemicu utama terjadinya tanah bergerak,” jelas dosen Departemen Teknik Geofisika ITS itu.
Amien mengungkapkan, perubahan paling signifikan terlihat dari topografi Sukabumi yang kini mengalami perubahan akibat aktivitas manusia.
Kawasan yang sebelumnya menjadi area resapan air kini berubah fungsi. Akibatnya, air hujan tidak dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan mengalir sebagai air permukaan yang memicu erosi, banjir, dan tanah longsor. “Proses ini mempercepat ketidakstabilan tanah, terutama di wilayah dengan banyak pemotongan bukit,” jelasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Amien menyarankan pengembalian fungsi hutan di puncak bukit. Menurutnya, kawasan tersebut seharusnya dikonservasi dan tidak digunakan untuk aktivitas manusia.
”Langkah ini akan membantu menjaga keseimbangan ekologis dan mengurangi risiko bencana di masa depan. Kita perlu menghitung kembali kapasitas resapan dan aliran air di kawasan tersebut,” pungkasnya. (aci)