Kisah Cinta Pasangan Tuna Netra, Pacaran Sejak 2008, Menikah Rabu (7/6/2017)

GIANYAR, SURYAKABAR.com – Senyum menghiasi wajah Made Narajaya (39). Pria penyandang tunanetra itu akhirnya menyunting kekasihnya, Ni Gusti Ayu Pandiani (35), yang juga mengalami kebutaan.

Saat ditemui di sela-sela upacara adat pernikahan di rumahnya, di Banjar Kaja Kauh, Desa Beng, Gianyar, Rabu (7/6/2017), pria yang terlahir dengan keadaan tidak bisa melihat (tunanetra) ini tidak menyangka, hari itu dia melakukan ritual pernikahan dengan kekasihnya, gadis yang berasal dari Buleleng.

Kedua pasangan ini menjalani prosesi pernikahan sesuai agama Hindu di Bali. Mulai dari natab hingga mabiakaon.

Meski tidak bisa melihat, prosesi pernikahan Narajaya dan Pandiani berjalan lancar. Sebab ada banyak keluarga dan warga setempat yang membantu.

Made Narajaya mengungkapkan, ia dan Pandiani berpacaran sejak 2008, tepatnya saat masih mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tabanan.

Selama berpacaran, ia sangat terbantu dengan perkembangan teknologi modern. Seperti keberadaan Go-Jek dan aplikasi handphone yang dilengkapi teknologi Talk.

“Kami berpacaran jarak jauh, Pandiani tinggal dan bekerja di Tabanan, sementara saya di sini (Gianyar). Kami berhubungan pakai HP, kadang telepon dan kadang juga SMS-an. Kalau mau bertemu, ya telepon Go-Jek. Pokoknya tidak ada kendala apapun,” kata Narajaya.

Narajaya berkelakar, bila manusia normal jatuh cinta dari mata turun ke hati, namun berbeda dengan yang dialaminya. Cinta muncul dari rabaan turun ke hati.

“Saya tidak bisa melihat Ida Ayu, hanya bisa merabanya, tapi saya tahu dia orangnya cantik. Saya sangat bersyukur dapat menikahinya,” tegasnya.

Orangtua Narajaya, I Nyoman Ada (63) mengungkapkan, menikah merupakan cita-cita yang ketiga dari anaknya.
Cita-cita pertama, kata Manada, panggilan Nyoman Ada, adalah ingin memiliki pekerjaan.

Setelah bekerja sebagai tukang pijat dan berhasil mengumpulkan uang, ia pun berkeinginan membangun rumah.
Setelah memiliki rumah, barulah Narajaya akan menikah.

“Astungkara, semua cita-citanya sudah tercapai. Pembangunan rumahnya juga sudah selesai,” ujar Manada, sembari memperlihatkan bangunan berarsitektur Bali, hasil jerih payah Narajaya.

Kelian Dinas dan Adat Banjar Kaja Kauh, Ketut Mujana mengatakan, lantaran pasangan ini memiliki keterbatasan, prajuru banjar akan memberikan perlakuan khusus.
Mereka tidak diwajibkan mengikuti kegiatan banjar, yang membutuhkan tenaga fisik. Mereka hanya diwajibnya dalam hal pepesuan atau berdanapunia.

“Statusnya di banjar ada keistimewaan. Ayah-ayahan fisik tidak dilibatkan. Hanya dilibatkan dalam hal pembayaran saja. Ini baru pertama terjadi di sini. Kami berterimakasih pada Made, karena memberikan warga motivasi. Keterbatasan tidak menghalangi mereka untuk melakukan hal-hal yang dilakukan orang normal,” ucap Mujana. (tribun bali)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *