Guru Besar FK Unair Soroti Kasus Kanker Nasofaring Tinggi
SURABAYA, SURYAKABAR.com – Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya, Prof Dr Achmad Chusnu Romdhoni mengungkapkan, kasus penyakit Kanker Nasofaring (KNF) di dunia mencapai 130.000 kasus baru dengan 80.000 kematian pada 2020.
Prof Romdhoni menjelaskan, KNF merupakan penyakit yang muncul pada daerah nasofaring, sebuah area yang cukup tersembunyi yang terletak di atas tenggorok dan di belakang hidung. Penyakit itu ditandai dengan gejala hidung, telinga, leher, dan neurologis atau saraf.
Menurut Prof Romdhoni, penyebab utama dari penyakit tersebut, yakni faktor genetik, faktor agent berupa infeksi laten dini dan reaktivasi oleh Epstein-barr Virus (EBV), dan faktor lingkungan berupa paparan terhadap bahan karsinogenik atau pemicu KNF seperti nitrosamin.
“Penyakit ini berdampak pada produktivitas penduduk, keadaan ekonomi penderita dan keluarganya, hingga menjadi beban dalam pembiayaan kesehatan negara,” ujar Prof Romdhoni yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan I FK Unair Surabaya, Rabu (18/10/2023).
Prof Romdhoni mengatakan, ada dua masalah utama yang terjadi pada KNF di Indonesia, yaitu keterlambatan diagnosis dan keterbatasan fasilitas kesehatan.
“Keterlambatan diagnosis menyebabkan pasien sering datang pada stadium lanjut, yang berpotensi menurunkan kualitas dan harapan hidup,” jelasnya.
Faktor yang berkontribusi pada keterlambatan diagnosis, kata Prof Romdhoni, yakni kurangnya wawasan dan kewaspadaan masyarakat terhadap penyakit dan gejala dini KNF, penolakan untuk dilakukan pemeriksaan, serta tidak patuh dalam prosesnya.
Sementara itu, keterbatasan fasilitas kesehatan menyebabkan terapi tidak dapat berjalan maksimal. Prof Romdhoni menyebut, angka kejadian penyakit yang tinggi tidak diimbangi sarana dan prasarana penunjang radioterapi yang memadai.
Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengusulkan beberapa langkah. Pertama, dengan meningkatkan wawasan dan kewaspadaan masyarakat terkait gejala dini KNF dan imbauan untuk segera mencari bantuan atau mendatangi pelayanan kesehatan.
“Kedua, meningkatkan efektivitas deteksi dini di fasilitas kesehatan tingkat I, serta mensosialisasikan tindak lanjut yang harus dilakukan tenaga medis apabila mendapati kecurigaan terhadap KNF,” katanya.
Ketiga, membuat cancer registry baik terkait kanker kepala leher maupun kanker secara umum. Serta keempat, melakukan advokasi kepada stakeholder yang berwenang untuk melakukan analisis geospasial terkait KNF dan mendorong pengembangan pusat pelayanan kanker berdasarkan hasil analisis tersebut.
“Langkah-langkah tersebut tentunya akan bisa berjalan dengan baik apabila mendapat dukungan yang besar dari seluruh pihak, mulai dari masyarakat, tenaga medis, hingga pemerintah sebagai pemangku kebijakan,” pungkasnya. (aci)