Opini
PROBLEMATIKA KONDISI FISIK PEMAIN SEPAK BOLA INDONESIA (1) : Menjadi Keluhan Setiap Pelatih Tim Nasional

Empat tahun lalu, Shin Tae-yong, pelatih Timnas Indonesia pernah mengeluhkan, salah satu persoalan besar pemain Indonesia adalah menurunnya stamina pemain di menit-menit akhir pertandingan. Keluhan serupa juga pernah disampaikan pelatih Timnas sebelumnya, Alfred Riedl, Luis Milla dan Simon McMenemy (sport.detik.com, 9 Januari 2020).

Di antara penyebabnya, menurut Shin Tae-yong adalah faktor kompetisi di Indonesia yang belum memenuhi standar dari sisi masa bermain efektifnya.

Di Liga 1 saja, masa efektif bermain pada setiap pertandingan masih pada kisaran 30-35 menit, sedangkan pada kompetisi yang baik, menurut pelatih asal Korea Selatan itu bisa mencapai 60 menit.

Masa bermain efektif adalah waktu total permainan selama 2 x 45 menit tanpa terhenti oleh bola mati: adanya pelanggaran, bola keluar atau perawatan cedera.

Menurunnya tempo permainan di akhir pertandingan seolah menjadi ciri khas permainan sepak bola Indonesia. Asnawi Mangkualam ketika memperkuat Ansan Greeners pernah menuturkan pengalamannya ketika bermain di kompetisi Liga 2 Korea Selatan.

Menurut Kapten Timnas Indonesia itu, jika di Indonesia menit ke-70 tempo permainan sudah mulai menurun, banyak pemain yang sudah mulai jalan-jalan. Sementara di Korea Selatan, pada menit tersebut justru tempo permainan sedang berada pada level yang tinggi.

Akibat permasalahan kondisi fisik tersebut, Shin Thae-yong dalam kurun waktu dua tahun sejak menangani Timnas Indonesia fokus melakukan perbaikan kondisi fisik pemain. Latihan fisik menjadi program prioritas, termasuk Weight Training yang dilakukan setiap hari.

Menurutnya, program tersebut mestinya tidak perlu lagi bagi pemain yang masuk Timnas karena sudah menjadi tanggung jawab pelatih di masing-masing klub.

Apa yang dilakukan Shin Thae-yong dibenarkan Marselino Ferdinand, pemain Timnas Indonesia yang pernah berdiskusi dengan penulis di kampusnya, Universitas Negeri Surabaya beberapa waktu lalu.

“Dua tahun kami benar-benar digenjot latihan fisik yang sangat berat. Kalau dibandingkan dengan latihan yang saya jalani di klub saya di Belgia, masih lebih berat latihan di Timnas. Hasilnya terlihat jelas, sekarang kami bisa bermain stabil selama pertandingan, bahkan menjalani pertandingan yang harus ada perpanjangan waktunya kami tidak kedodoron,” kata Marselino.

Penilaian Shin Thae-yong dan penuturan Asnawi bisa dijadikan gambaran tentang kondisi fisik pemain Indonesia. Kondisi tersebut nampaknya ada keterkaitan dengan hasil pengukurun komponen kondisi, yang penulis lakukan terhadap 195 pemain sepak bola usia 15 – 23 tahun selama 2017-2018.

Pemain yang dilibatkan dalam pengukuran itu meliputi pemain: Tim Bhayangkara FC U-15 dan U-17, Tim Dispora Surabaya U-15, Seleksi Timnas Nusa Tenggara Barat U-15 dan U-19, serta Tim Linus Deltras Sidoarjo.

Mayoritas mereka adalah pemain yang sedang berada pada usia pembinaan. Pengukuran meliputi kekuatan otot kaki, kelincahan, kecepatan lari dan daya tahan aerobik.

Khusus daya tahan aerobik, yang sering dijadikan indikator kebugaran pemain dan biasanya di lapangan dikenal dengan sebutan VO2max nilainya belum ideal untuk kebutuhan seorang pemain sepak bola. Jika dilihat rata-ratanya hanya 41.87 ml/kg/menit dengan skor tertingginya hanya 54.80.

Dibandingkan dengan pesepakbola dari negara lain, hasil pengukuran tersebut masih berada dibawahnya. Sebut saja dengan Kanada, Tim Elitenya U-16 memiliki rata-rata 59.00, Amerika Serikat U-15 sebesar 54.5 dan U-16 sebesar 56.2, Youth Team Scotland 63.4. Kemudian untuk pemain yang sudah bermain pada kompetisi senior nilainya lebih tinggi lagi. Rata-rata VO2 max pemain Divisi I Belanda 68.00 dan Divisi I Belgia 56.5.

Kendala kondisi fisik yang terjadi pada pemain Indonesia ketika berada di Timnas sebenarnya bukan karena faktor pemusatan latihan mereka kurang lama, tetapi lebih disebabkan penanganan kondisi fisik mereka sejak usia dini yang kurang terprogram dengan baik.

Kurangnya tenaga pelatih yang memiliki kapasitas tentang pembinaan kondisi fisik pada setiap jenjang pembinaan menjadi masalah besar bagi sepak bola Indonesia. Pemahaman terhadap program dan penerapan latihan kondisi fisik serta cara mengevaluasinya secara periodik harus dimiliki para pelatih sejak di lingkup Grassroots.

Sangat jarang di Indonesia, wadah pembinaan seperti Sekolah Sepak Bola, Akademi ataupun Klub sekalipun melakukan pengukuran terhadap komponen kondisi fisik terhadap pemainnya. Jika ini tidak pernah dilakukan, maka kita tidak akan pernah tahu perkembangan kondisi fisik pemain dari setiap jenjangnya.

Selain faktor eksternal, pemain juga harus diberi pemahaman terhadap pemeliharaan kondisi fisik sebab pola hidup pemain memiliki keterkaitan dengan kondisi fisik.

Latihan, istirahat dan asupan gizi merupakan komponen penting bagi seorang pemain bila ingin memiliki kondisi fisik yang baik.

Pengalaman di lapangan menunjukkan, problem utama yang terjadi pada pemain sejak usia dini adalah masalah pengaturan waktu istirahat dan pola makannya. Keduanya bukan hanya berpengaruh pada kondisi fisik pemain, tetapi juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan fisiknya. Keterlibatan orang tua, khususnya pada usia dini dan remaja sangat dibutuhkan dalam rangka mengontrol waktu istirahat dan asupan gizinya.

Tulisan ini akan bersambung dengan topik pembinaan kondisi fisik sejak usia dini. (*/bersambung)

Penulis : Imam Syafii
Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan
Universitas Negeri Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *