Shelter Indonesia Soroti Hukum Ketenagakerjaan dalam Hubungan Industrial
SURABAYA, SURYAKABAR.com – Implementasi hukum ketenagakerjaan kini menjadi hal penting dilakukan bagi semua perusahaan maupun pelaku usaha di Indonesia. Hal ini dilakukan agar jika terjadi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia tidak berlarut-larut di kemudian hari.
Hal itulah yang mendorong Shelter Indonesia menggelar seminar untuk membahas isu-isu terkini mengenai hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Seminar bertajuk Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dalam Hubungan Industrial ini mengundang sejumlah perusahaan dan pelaku usaha di Indonesia agar memahami hukum-hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.
Chief Marketing Officer Shelter Indonesia, Nino Mayvi, mengatakan pertemuan ini digelar sebagai salah satu bentuk kepedulian dari Shelter Indonesia terhadap perusahaan-perusahaan mengenai hukum-hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Sehingga, pelaku usaha di masing-masing industri di Indonesia dapat memahami bagaimana cara mengatasi berbagai tantangan yang mungkin timbul.
“Ketika kita memahami isu-isu ketenagakerjaan dengan komprehensif, maka pintu kesuksesan bisnis terbuka lebar, produktivitas meningkat dan menjadi pemimpin pasar di Indonesia menuju masa depan yang lebih cemerlang,” ujar Nino, Kamis (29/2/2024).
Nino menjelaskan, Shelter Indonesia merupakan perusahaan outsourcing yang bergerak dalam memberikan pelayanan keamanan, kebersihan, kebutuhan karyawan hingga pengendali hama.
“Selain itu, perusahaan ini juga menyediakan jasa pelatihan untuk menunjang kompetensi satpam, karyawan, dan petugas kebersihan,” jelasnya.
Menurut Nino, dengan jumlah pelanggan yang mencapai lebih dari 600 perusahaan di seluruh Indonesia, hingga saat ini jumlah tenaga kerja yang diberdayakan mencapai 15.000 orang lebih.
“Sebagai perusahaan yang berhubungan dengan tenaga kerja, maka sudah pasti untuk mengedepankan hubungan industrial dalam perusahaan yang sesuai dengan peraturan perundangan,” terangnya.
Selama ini banyak perusahaan alih daya yang kurang memberikan pemahaman terkait hukum ketenagakerjaan kepada mitra kerja atau pelanggan. Tak heran, di tengah persaingan bisnis yang ketat, sejumlah perusahaan alih daya memilih untuk menjalankan bisnis asal-asalan hingga melanggar regulasi pemerintah.
“Hukum ketenagakerjaan penuh polemik. Sangat jarang perusahaan outsourcing yang mau memberikan pemahaman terkait hukum ketenagakerjaan kepada pelanggan. Akhirnya, mereka berani menjual sesuatu yang tidak sesuai regulasi,” ungkapnya.
Nino mengakui, salah satu yang masih menjadi permasalahan adalah ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi regulasi terutama soal upah. Baginya, hal ini harus diberikan pemahaman.
“Ini menjadi perhatian kami. Kami menyadari banyak perusahaan khususnya UMKM yang harus menyesuaikan kondisi. Kami selalu beri pemahaman, selayaknya ada solusi, sehingga bisnis tetap jalan dan pekerja juga mendapatkan kesejahteraan,” katanya.
Sementara itu, Pakar Hukum Ketenagakerjaan, Suhariwanto SH MHum, mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 2 menyatakan, Hubungan Industrial didasarkan pada perjanjian kerja. Ketentuan perjanjian kerja tersebut di antaranya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh, dibuat secara tertulis atau lisan, dilaksanakan sesuai peraturan perundangan, dan dibuat untuk waktu tertentu atau waktu tidak tertentu.
“Perjanjian kerja sendiri merupakan instrumen hukum yang penting bagi para pihak dalam menjalin hubungan kerja. Dengan adanya perjanjian kerja berdasarkan peraturan perusahaan yang dibuat pengusaha dan serikat pekerja, maka telah mengikat secara hukum bagi para kedua belah pihak. Sehingga, perjanjian kerja ini juga dapat digunakan untuk mencegah dan menyelesaikan perselisihan hubungan industi yang terjadi di perusahaan,” jelasnya.
Selain menggunakan perjanjian kerja untuk mencegah perselisihan, pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 3 juga dikatakan penyelesaian perselisihan hubungan industri dapat dilakukan melalui perundingan bipartite.
“Perundingan ini harus diselesaikan paling lama 30 hari. Apabila tidak berhasil, maka harus dilakukan penyelesaian perselisihan secara represif, yaitu mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab. Penyelesaian dengan cara ini dapat dilakukan dengan tiga cara seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi,” pungkasnya. (aci)