Doktor ITS Gagas Algoritma Pendeteksi Lokasi Epilepsi di Otak

SURABAYA, SURYAKABAR.com – Doktor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dwi Sunaryono, menggagas algoritma pendeteksi lokasi sumber penyakit epilepsi di dalam otak. Inovasi ini diklaim menjadi yang pertama diciptakan di Indonesia.

Dwi mengatakan, selain menjadi penyakit membahayakan, epilepsi juga menjadi salah satu penyakit yang metode penyembuhannya tidak cukup hanya ditangani dengan obat saja.

“Sehingga perlu diintegrasikan penggunaan alat Electroencephalogram (EEG) dengan Artificial Intelligence (AI) untuk menjawab persoalan itu,” ujar Dwi saat sidang promosi doktornya, Rabu (6/9/2023).

EGG adalah alat untuk merekam aktivitas kelistrikan otak yang menghasilkan sinyal frekuensi. Sehingga, sinyal terekam dari berbagai pergerakan manusia dan suara yang timbul, baik secara sadar ataupun tidak.

Baca Juga:  ITS dan Pemkot Surabaya Dirikan Pabrik Air Minum Dalam Kemasan

Hal itu meliputi Eye Movement (EYEM) akibat dari pergerakan mata, Artifact (ARTF) yang salah satunya dapat timbul karena suara mesin EEG, serta Background (BCKG) yang tidak memiliki arti dalam bentuk sinyalnya.

Dari sinyal-sinyal itu, lanjut Dwi, kemudian perlu dideteksi adanya sinyal yang merujuk pada Interictal Epileptiform Discharge (IED) yang menjadi tanda terjadi sesuatu tidak normal di otak, salah satunya karena epilepsi.

Dengan ciri sinyal yang memiliki lonjakan tajam, lalu menurun, dan naik secara konstan mendatar. “Maka, perlu untuk memproses apakah sinyal dari EEG ini terindikasi sinyal IED, sehingga bisa ditentukan lokasinya melalui algoritma yang digagas tersebut,” ungkap Dwi.

Perumusan algoritma sendiri diawali dengan standarisasi kanal EEG berupa peletakan jumlah elektroda sesuai aturan internasional. Lalu diatur frekuensi pada EEG sebesar 1 hingga 40 Hz untuk meminimalisir adanya campuran sinyal dari noise atau pergerakan tubuh.

Baca Juga:  Tim Spektronics ITS Borong Dua Piala, Juarai Chem-E-Car Competition di India

“Serta dilakukan resampling sebesar 250 Hz untuk standarisasi sinyal EEG, dan dihapuskan sinyal ARTF, BCKG, dan EYEM untuk mendapatkan sinyal IED,” jelasnya.

Dari praproses itu, algoritma akan menentukan apakah EEG mengandung IED atau tidak. Jika iya, maka dianotasikanlah lokasi IED pada otak dan dibuatkan kumpulan anotasi atau titik lokasi yang disebut epoch.

Selanjutnya, dihitung noise covariance untuk menentukan keanehan pada titik lokasi berdasarkan rata-rata frekuensi. Proses penentuan lokasi ini kemudian dibantu dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengetahui kepastian lokasi IED.

Data dengan format file HDR yang didapat dari MRI selanjutnya dikonversi ke format file nii.gz dan dilakukan rekonstruksi ulang pada tahap recon all untuk membedakan lokasi otak, lapisan otak, dan kulit kepala.

“Hasil data dari MRI tersebut lalu disesuaikan dengan data yang didapat EEG. Dihitung juga source base untuk memastikan segmentasi posisi otak,” terang Dwi.

Baca Juga:  IDI Sebut Daerah Terpencil Kurang Diminati Dokter dan Tenaga Medis

Proses Image Segmentation itu berlanjut pada Mesh Generation untuk mendistribusikan sinyal EEG menjadi ribuan titik untuk lebih memastikan posisi dan koordinat otak. Setelah itu disesuaikan lagi titik dengan volume otak pada proses Boundary Element Model (BEM). “Jadilah titik tersebut akan membentuk otak manusia sesuai dengan posisi dan ukurannya,” tambahnya.

Dwi menuturkan, titik representasi sinyal frekuensi pada otak itu lalu dihitung channel average untuk mendapatkan nilai frekuensi yang tepat dalam membuktikan keberadaan sinyal IED.

Segmentasi otak dari MRI dan titik keberadaan IED dari data EEG lalu diintegrasikan pada aplikasi topography map untuk menggambarkan pergerakan energi tiap detiknya atau yang disebut dengan Source Time Courses (STCS).

Kemudian, proses beranjak ke parselisasi, yaitu pemetaan pada area otak. Jika pemetaan sudah teridentifikasi, maka dilakukan transformasi STCS ke volume space untuk menentukan koordinat titik IED yang lebih tepat.

Penelitian yang dikemas dalam algoritma otomatis EEG ini pun menunjukkan hasil yang sesuai dengan diagnosa lokasi epilepsi oleh dokter neurologi dan ahli bedah dari RSUD dr Soetomo Surabaya. (aci)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *