Ben Hur Oleh: Dhimam Abror Djuraid

abror-edit
                Dhimam Abror Djuraid

 

Olahraga, intrik, dan politik sudah berumur sangat panjang, hampir sepanjang peradaban umat manusia modern. Nun, dua ribu tahun yang silam di zaman Isa Al-Masih hiduplah seorang bangsawan muda Yahudi bernama Judah Ben Hur bersama keluarga ningratnya di Jerusalem yang diduduki kekuasaan Roma. Ben Hur hidup bahagia bersama keluarganya, termasuk saudara angkatnya, Mesalla yang berasal dari Roma.

Ketika memasuki masa dewasa Mesalla memutuskan untuk bergabung dengan tentara Roma. Ia berperang di berbagai medan sampai kemudian menjadi perwira yang ditugaskan kembali ke Jerusalem.

Mesalla bertemu kembali dengan keluarga angkatnya. Ia melepas kangen yang mendalam dengan Ben Hur. Tetapi, keadaan sudah berubah. Mesalla seorang perwira andalan tentara Roma, dan Ben Hur harus hidup bergaul dengan kelompok Yahudi yang menentang pendudukan Roma.

Ben Hur dituduh sebagai pengkhianat, karena melindungi gerakan perlawanan anti-Roma. Mesalla sendiri yang diperintahkan untuk menangkap Ben Hur, memenjarakan keluarganya dan menjadikan Ben Hur budak pengayuh perahu angkatan laut Roma.

Dalam sebuah peperangan laut yang dahsyat perahu Ben Hur karam dihantam mesiu lawan. Ben Hur beruntung bisa terbawa ombak sampai ke sebuah pantai.

Dan ternyata ia mendarat tidak jauh dari Jerusalem. Ben Hur yang punya keahlian berkuda dan tahu cara merawat kuda kemudian bekerja bagi seorang saudagar kaya Afrika yang suka olahraga berkuda dan memendam dendam kepada penguasa Roma karena anaknya mati dihukum penguasa Roma.

Ben Hur bertekad melampiaskan dendam kepada Mesalla yang juga menjadi andalan Roma dalam olahraga berkuda yang sangat populer. Kedua pemuda yang awalnya saling mencinta dan sangat akrab seperti saudara kandung itu sekarang bersiap saling membunuh.

Keduanya akan tampil dalam lomba balapan kuda tahunan yang diselenggarakan oleh penguasa Roma. Lomba diadakan di hadapan puluhan ribu penonton dalam kolesium raksasa. Puluhan pengendara kereta kuda siap bersaing. Ini bukan perlombaan biasa. Ini adalah pertempuran sampai mati. Ini perlombaan yang sangat bergengsi karena penguasa Roma sebagai tuan rumah tidak boleh kalah dalam perhelatan olahraga bergengsi ini.

Ben Hur tahu dia akan berhadapan langsung dengan Mesalla di putaran final. Ia bertekad melampiaskan dendam dan membunuh Mesalla. Satu persatu kereta tumbang dan pebalapnya mati diseret kudanya sendiri atau sengaja ditabrak kereta lawan. Berbagai trik curang dipakai untuk menghancurkan lawan.

Ben Hur dan Mesalla menjadi dua pebalap terakhir yang berlomba. Nafsu saling membunuh memuncak menghilangkan sportivitas dan kejujuran. Menjeleng putaran terakhir Ben Hur dan Mestalla saling kejar.

Pada sebuah tikungan Mesalla merapatkan keretanya ke arah Ben Hur untuk mencelakainya. Roda keretanya sengaja dipasang senjata rahasia seperti tombak yang bisa merontokkan jeruji roda lawan.

Kedua bersaudara yang semasa remaja berlatih kuda bersama-sama itu kali ini berusaha saling membunuh. Pada tikungan itu Ben Hur berhasil lolos.

Ia mendesak kereta Mesalla dalam kecepatan tinggi ke arah tribun penonton. Mesalla kehilangan keseimbangan, keretanya menabrak tembok pembatas. Ia terpental ke udara, jatuh berdebum ke tanah, terluka parah. Ben Hur dengan senyum kemenangan melaju ke garis finish.

* * * *

Dua ribu tahun berselang, di zaman modern sekarang ini, olahraga masih tetap menjadi ajang adu gengsi dan ambisi. Nafsu serakah, nafsu untuk berkuasa dan nafsu untuk meraup kekayaan dan kejayaan pribadi menjadi bagian dari olahraga modern.

Orang-orang yang tidak kompeten dan tidak mempunyai kecintaan terhadap olahraga mengeksploitasinya semata-mata untuk mendapatkan uang.

Orang memakai olahraga untuk kendaraan politik. Olahraga yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai luhur kejujuran dan rasa hormat, menjadi ajang yang becek dan kotor karena ambisi untuk meraup uang dan kekuasaan.

Intrik dan skandal mewarnai perhelatan olahraga internasional maupun nasional. Para pengelola olahraga di level internasional terlibat dalam skandal korupsi raksasa dan harus mundur atau mendekam di bui.

FIFA, badan pengelola sepak bola tertinggi di dunia karut marut oleh skandal korupsi, sehingga Sepp Blatter yang menjadi presiden puluhan tahun harus mundur secara memalukan.

Skandal korupsi juga terjadi di badan tertinggi pengelola olahraga lainnya. Suap, pengaturan skor, doping, dan berbagai kejahatan lainnya menjadi menu sehari-hari di dunia olahraga.

Di Indonesia, PON yang September lalu baru dihelat, terbukti masih belum mampu menjadi ajang untuk unjuk sportivitas dan respek. Terlalu banyak politik dan terlalu sarat ambisi. Menguber kemenangan menjadi sasaran inti sampai melupakan aturan dan sportivitas.

Ambisi untuk menjadi juara membuat halal segala cara yang ditempuh. Alih-alih memupuk solidaritas dan sportivitas PON 2016 ini malah menimbulkan luka dan derita yang, bisa jadi, akan panjang buntutnya.

Ketika perhelatan sudah reda, nafas sudah mulai teratur kita harus bertanya apakah layak kita mendapatkan semua ini dengan cara-cara yang tidak bersih itu?

Ben Hur–sekarang film versi baru sedang diputar di bioskop–mengajarkan kepada kita bahwa dendam mempunyai kekuatan menghancurkan yang dahsyat. Tetapi, kejujuran, ketenangan hati, dan kesediaan untuk memaafkan ternyata mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat. Pada akhirnya, kejujuran dan keluasan hati untuk menerima kenyataanlah yang menjadi juara sejati. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *