DPR RI Susun RUU Pemilu, Masa Jabatan Anggota DPRD Hasil Pemilu 2019 akan Berakhir 2022, Josiah: Ini Bisa Jadi Polemik
SURABAYA, SURYAKABAR.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu tahun 2020 yang disusun Badan Keahlian DPR RI, dinilai Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD Surabaya merugikan anggota DPRD di daerah. Sebab, jika RUU tersebut disahkan, anggota legislatif di daerah hasil Pemilu 2019 hanya menjabat selama tiga tahun. Dan ini akan jadi polemik.
Dalam RUU tersebut ada beberapa poin yang akan merugikan anggota legislatif daerah, yakni pertama, pemilu lokal (daerah) pertama dilakukan tahun 2022, selanjutnya dilakukan setiap lima tahun sekali. Kedua, pemilu nasional pertama diselenggarakan tahun 2020 kemudian diselenggarakan setiap lima tahun.
Kemudian, pada salah satu poin juga berbunyi, “Anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota hasil Pemilu Serentak 2019, masa jabatannya berakhir sampai terpilihnya anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam pemilu lokal tahun 2022.”
Bagaimana Fraksi PSI DPRD Surabaya menyikapi ini? Menurut anggota Fraksi PSI DPRD Surabaya, Josiah Michael, intinya RUU yang nanti akan disahkan menjadi UU Pemilu, entah itu yang opsi pemilu lokal dilaksanakan 2022 atau tahun berapa, PSI sudah siap. “Tidak ada masalah bagi kami (PSI), pemilu dilaksanakan kapan,” ujar Josiah Michael.
Dalam RUU tersebut dikatakan, anggota legislatif yang akan menjabat tiga tahun tersebut, namun gajinya tetap dibayar untuk lima tahun masa jabatan, menurut Josiah Michael yang juga anggota Komisi A DPRD Surabaya permasalahannya bukan hanya di situ.
“Masalahnya bukan hanya di penghasilan, tapi kami sudah janji dengan masyarakat selama lima tahun menjadi wakil mereka, mengadvokasi kepentingan masyarakat, jadi tetap saja merugikan,” tukasnya.
BACA JUGA:
Yang perlu jadi catatan dari anggota DPR RI di Banleg dan Komisi II yang menyusun RUU Pemilu, lanjut Josiah, anggota DPRD se-Indonesia menjadi anggota DPRD telah melakukan sumpah jabatan dalam surat keputusan (SK) tertulis mereka harus mengabdi selama lima tahun.
Yang ditakutkan, jelas Josiah Michael, hal ini akan menjadi polemik. Kenapa? Karena sumpah jabatan dan SK serta hasil UU Pemilu tak ada sinkronisasi. Jadi, itu yang perlu jadi pertimbangan khusus.
“Memang itu pilihan politik, tapi pilihan itu haruslah adil. Kan kemarin dewan yang terpilih tahun 2019 itu untuk masa jabatan lima tahun. Kalau jadi tiga tahun ya nggak adil dan bisa menimbulkan polemik. Yang jelas, PSI mau pemilu kapanpun kami siap,” urainya.
Hal senada diungkapkan Baktiono, anggota Fraksi PDI-P DPRD Surabaya. Menurut dia, kalau UU Pemilu itu sudah menjadi keputusan, ya dirinya manut saja. Lantaran pemilu serentak itu kan tujuannya untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. “Lebih pakai sistem langsung (perwakilan), yaitu dipilih lewat DPRD,” ungkapnya.
Seperti diketahui, wacana RUU Pemilu ini mematahkan wacana Pemilu 2024 yang dilaksanakan secara bersamaan dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan. Pilkada serentak tidak seperti dibayangkan selama ini bahwa pilpres, pileg dan pilkada dilaksanakan secara bersamaan.
RUU Pemilu terbaru ini justru mengelompokkan pemilu kedalam dua kategori, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah).
Titik tekan keserentakan pemilu disesuaikan dengan kategorinya. Pertama, pemilu nasional yang meliputi pilpres, pileg DPR RI dan DPD. Tiga jenis pemilu dikelompokkan sebagai pemilu nasional yang diadakan serentak dua tahun setelah pemilu lokal.
Kedua, pemilu lokal meliputi pilkada (gubernur, bupati dan wali kota) dan pileg DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Pemilu lokal dilaksanakan tiga tahun setelah pemilu nasional. Adapun masa jabatan dalam pemilu nasional maupun pemilu lokal tetap lima tahun. Jika ini nanti disepakati DPR, maka yang paling dekat pemilu lokal diadakan pada 2022.
Pertanyaannya bagaimana dengan jabatan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang mestinya berakhir 2024? RUU ini sudah menyiapkan mekanisme kompensasi selama dua tahun. Yakni di tahun 2023 dan 2024 bagi anggota DPRD yang semuanya harus diberhentikan tahun 2022. (be)