Opini
Pernyataan Dragan Talajic Sindiran Pahit bagi Asosiasi Sepak Bola Tanah Air
Ada sisi menarik dari pertandingan Indonesia kontra Bahrain, Selasa (25/3/2025) lalu, yang tidak menjadi perhatian banyak pihak. Euforia kemenangan atas Bahrain masih membahas seputar performa tim, kontribusi pemain dan peluang Indonesia lolos ke putaran final Piala Dunia 2026.
Sedikit sekali yang memperhatikan pernyataan pelatih Bahrain, Dragan Talajic pada saat press conference sebelum pertandingan. Pelatih asal Kroasia itu menyatakan, Indonesia punya 300 juta penduduk tetapi mendatangkan pemain dari Belanda.
Pernyataan itu bukan sekadar psychological warfare atau perang psikologis untuk menjatuhkan mental timnas Indonesia, tetapi sekaligus merupakan sindiran pahit kepada asosiasi sepak bola tanah air.
Kendati penduduk Indonesia saat ini menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah sekitar 284.438.800 dengan jumlah penduduk laki-laki 140.786.800 masih kesulitan mencari 11 pemain sepak bola yang bisa bersaing di level dunia. Konkritnya seperti itu, jika dimaknai lebih mendalam pernyataan dari Dragan Talajic.
Dengan jumlah penduduk sebanyak itu Indonesia sampai sekarang masih belum mampu merasakan sengitnya atmosfir pertandingan Piala Dunia.
Sementara, Selandia Baru yang baru saja lolos ke Piala Dunia 2026 hanya berpenduduk 5.242.116 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.605.571.
Lebih mencengankan lagi ketika kita bandingkan dengan Islandia yang lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia, saat itu hanya memiliki penduduk 350.710 jiwa.
Dengan jumlah penduduk yang lebih banyak, mestinya peluang Indonesia untuk mendapatkan pemain yang layak dipentaskan dalam berbagai event Internasional lebih baik dari Selandia Baru dan Islandia. Namun faktanya justru tidak demikian, bisa jadi karena ada faktor kesalahan dalam tatakelola pembinaan sepak bola Indonesia.
Berbagai aspek pembinaan sepak bola Indonesia sebenarnya sudah ada, mulai dari kompetisi dari berbagai jenjang, wadah pembinaan mulai dari level grassroots hingga klub professional, pembinaan sumber daya manusia, seperti pelatih, perangkat pertandingan, dan berbagai tenaga penunjang yang bekerja sebagai team behind team semua ada. Namun pertanyaan kritisnya, mengapa faktor-faktor tersebut belum bisa memberikan kontribusi nyata terhadap pencapain prestasi sepak bola Nasional di pentas dunia.
Selama ini, tatakelola sepak bola nasional lebih fokus ke pelaksanaan kompetisi di level senior, seperti Liga 1 hingga Liga 4, Youth Development dan Grassroots serta berbagai aspek yang terkait dengan pengembangan tersebut terabaikan. Keberadaan mereka sebatas ada tanpa diberi perhatian untuk terus ditingkatkan kualitasnya.
Berapa banyak pelatih yang tidak berlisensi melatih anak-anak usia dini yang tersebar di Sekolah Sepak Bola atau wadah-wadah pembinaan lainnya. Berapa banyak, Asosiasi PSSI di Tingkat Kabupaten dan Kota yang mati suri, bahkan tidak ada kegiatan sepak bola sama sekali. Kalau kita perhatikan dari siniliah sebenarnya produk pembinaan itu dimulai, dan dari sini pulalah kualitas pemain yang berada di Tim Nasional dibentuk.
Upaya PSSI sebagai otoritas sepak bola Nasional sudah berupaya berbagai cara untuk meningkatkan kualitas Tim Nasional melalui pengiriman pemain muda berlatih dan berkompetisi ke berbagai negara yang sudah maju sepak bola. Sebut saja, seperti proyek Garuda ke Brasil, Primavera dan Bareti ke Italia, Garuda Select ke Inggris dan Depoertiva ke Uruguay.
Pelatih dari berbagai negara juga sudah didatangkan, seperti Wiel Corver (Belanda), Joao Lacerda Filho atau yang lebih dikenal dengan Joao Barbatana (Brasil), Anatoli Polusin (Rusia), Luis Milla (Spanyol) dan masih banyak lagi pelatih lainnya.
Upaya tersebut belum menuai hasil yang bisa memenuhi harapan insan sepak bola tanah air, karena permasalahan utamanya belum tersentuh.
Permasalahan tersebut menyangkut kualitas tatakelola pembinaan usia muda dan usia dini sabagai bahan baku dalam memproduksi pemain yang bisa diandalkan pada fase selanjutnya.
Selama permasalahan ini belum terselesaikan maka akan sulit Indonesia bisa mengambil peran dalam persaingan sepak bola dunia.
Jepang dan Jerman misalnya, ketika prestasi Tim Nasional-nya terpuruk yang dilakukan adalah perbaikan pada pembinaan usia muda. Jepang setelah merasa gagal di Piala Dunia 2002, program yang dicanangkan untuk penguatan Tim Nasional-nya adalah memperbaiki pembinaan usia muda dan kualitas kepelatihannya.
Pemain yang sekarang berada di Tim Nasional Jepang merupakan produk dari program pembinaan setelah gagal di Piala Dunia 2002.
Begitu juga dengan Jerman, pada saat prestasi Tim Nasional tidak menghasilkan prestasi membanggakan (2000-2005), mereka membentuk 121 pusat latihan pemain usia muda mulai dari usia 10-17 tahun yang tersebar di berbagai kota dan hasilnya lahirnya pemain-pemain seperti Thomas Mueller, Philipp Lahm, Manuel Neuer, Sami Khedira, Mesut Ozil dan Miroslav Klose. Jerman akhirnya menjadi juara Piala Dunia 2014 di Brasil, setelah di final mengalahkan Argentina dengan skor 1-0.
Sementara langkah Indonesia lebih memilih melakukan naturalisasi pemain, khususnya dari Belanda yang memiliki keturunan Indonesia.
Cara ini menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan, terutama menyangkut proporsi keterlibatan pemain lokal menjadi sangat terbatas. Pengelolaan Tim Nasional tak ubahnya seperti pengelolaan klub profesional, yang bisa mengambil pemain dari negara manapun.
Tidak berlebihan apa yang disampaikan Dragan Talajic, karena saat melawan Bahrain Indonesia menggunakan pemain naturalisasi sebanyak 78,26 persen. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan Maroko ketika Piala Dunia 2022 di Qatar, yakni 61,5 persen.
Dengan mayoritas pemain naturalisasi, Maroko mampu mengukir sejarah sebagai negara pertama Afrika yang berhasil melaju ke semifinal Piala Dunia. Sayangnya, Romain Saiss dan kawan-kawan gagal melaju ke partai final setelah dihentikan Prancis dengan skor 0-2.
Mampukan Indonesia mengikuti jejak Maroko? Untuk lolos otomatis dari Grup C peluangnya sangat berat, mengingat persaingan memperebutkan peringkat kedua lebih didominasi Australia dan Arab Saudi, karena poin keduanya lebih baik dari Indonesia.
Jika pasukan Patrick Kluvert itu tidak bisa menembus posisi kedua, maka harus mengamankan diri di peringkat ketiga atau keempat agar bisa masuk di putaran keempat. (*)
Penulis : Imam Syafii
Dosen Fakultas Ilmu Olahraga dan Kesehatan
Universitas Negeri Surabaya