Berita Sidoarjo
Serbuan Impor Batik Cap dari Tiongkok Ancam Batik Tulis Sidoarjo

SIDOARJO, SURYAKABAR.com – Keberadaan batik tulis sebagai warisan budaya Indonesia tergerus serbuan impor batik cap selama 4 tahun terakhir. Namun perajin batik tulis di Kabupaten Sidoarjo tidak tinggal diam. Mereka terus berinovasi. Salah satu caranya, dengan memperbarui motif batik agar kekinian tanpa meninggalkan corak asli Batik Sidoarjo serta mengupdate pemasaran.

Serbuan batik impor tersebut dikatakan Nurul Huda, perajin batik tulis asal Kampung Batik Jetis yang kini tinggal di Perumahan Sidokare Asri.

“Serbuan batik impor khususnya dari Tiongkok terasa mulai 2020 lalu, namun batik tersebut adalah batik cap yang gampang diproduksi secara masal, karena menggunakan mesin,” tutur Huda, Kamis (3/10/2024) pagi.

Baca Juga:  Hari Batik Nasional, Smamda Surabaya Ajari Siswa Asing dan Pengunjung Hotel Membatik

Akibatnya, lanjut Huda, karena batik cap impor tersebut berharga jauh lebih murah, maka menjadi ‘godaan’ masyarakat karena harganya yang murah.

Huda mengambil contoh, batik tulis buatannya ia jual dengan harga termurah Rp 180 ribu per lembar, sedangkan batik cap di sebuah toko di Kota Delta bisa didapat hanya di kisaran Rp 50 ribu. “Tentu ini tantangan yang luar biasa,” katanya.

Dosen Pertanian di Universitas Merdeka Surabaya ini melanjutkan, sejak 2020 omzet penjualan batik tulisnya terus merosot hingga tersisa 30 hingga 40 persen.

Baca Juga:  Lestarikan Budaya Batik, Pelajar SD Muhammadiyah 3 Ikrom Wage Sidoarjo Praktik Membatik Tulis

Huda terus berupaya, salah satunya dengan memperluas pemasaran. Ia mengandeng influencer untuk menyebarkan lebih luas tentang batik Sidoarjo. Upaya yang kedua adalah memperbarui corak batik agar kekinian yang cocok dipakai kaum remaja, namun tentu saja tanpa meninggalkan corak khas Sidoarjo.

“Corak di batik tulis itu bukan sekadar ornamen pada kain. Namun menyimpan histori tentang perjalanan peradaban sebuah kota. Corak udang dan bandeng misalnya. Corak ini menggambarkan, Kabupaten Sidoarjo merupakan penghasil udang dan bandeng terbaik,” jelasnya.

Selain itu, imbuh Huda, corak kembang tebu menceritakan pada masanya, Sidoarjo merupakan penghasil gula terbanyak. Hal itu dikuatkan dengan keberadaan lima pabrik tebu yang tersebar di beberapa kecamatan. Namun saat ini hanya dua pabrik tebu yang masih beroperasi yaitu Pabrik Gula Candi dan Pabrik Gula Krembung.

Baca Juga:  Kampung Batik Laweyan dan Kauman, Kota Solo Dapat Berkah dari Piala Dunia U-17 2023

Motif lain batik khas Sidoarjo berupa beras wutah yang menggambarkan, Sidoarjo merupakan penghasil beras hingga bisa memenuhi kebutuhan kota lain.

“Selain itu ada motif daun bayam, itu menyiratkan, dulunya kota kita ini merupakan penghasil sayur-mayur yang hingga saat ini masih ada di Kecamatan Tulangan,” terangnya.

Jadi, menurut Huda, memakai batik tulis punya banyak makna. Bukan haya penutup tubuh saja. “Memakai batik tulis sama saja melestarikan budaya,” imbuhhya.

Putri Anissah, salah satu pembeli batik tulis di Toko Al Huda mengatakan, dirinya mengenakan batik tulis tidak hanya saat kondangan saja, namun juga saat pergi ke kampus.

“Pakai batik tulis itu nyaman, bisa meningkatkan kepercayaan diri. Tidak ada yang menyamai karena dilukis dengan tangan. Dengan memakai batik kita juga melestarikan salah satu budaya negeri,” ucap mahasiswi UPN Surabaya ini. (sat)