Mahasiswa ITN Malang Ciptakan Drone Amphibi Shark untuk Deteksi Illegal Fishing
MALANG, SURYAKABAR.com – Tiga mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang berhasil menciptakan “Drone Amphibi Shark”. Sebuah drone amfibi berbasis kecerdasan buatan yang dapat mendeteksi kegiatan illegal fishing secara cepat dan akurat.
Diciptakan Tim IDAS, merupakan tim Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC) 2024 Teknik Geodesi S-1, ITN Malang. Terdiri dari Yustina Cheline J. Owa, Luh Kadek Dera Erlinda, Melania Neldis Luin. Dengan dosen pendamping Ir. Ketut Tomy Suhari, ST., MT., IPP.
“Dengan teknologi ini kami berharap dapat membantu pemerintah dan pihak berwenang dalam menjaga kedaulatan perairan Indonesia, sekaligus melindungi sumber daya laut kita,” kata Yustina Cheline J. Owa, Ketua Tim IDAS.
Mereka mengembangkan inovasi teknologi yang dapat memberikan solusi nyata bagi permasalahan di perairan Indonesia.
Dari hasil survei yang dilakukan Tim IDAS menunjukkan, ada kebutuhan mendesak untuk sistem deteksi yang lebih canggih dan responsif.
Illegal fishing tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga merusak ekosistem laut yang membutuhkan waktu lama untuk pulih.
PKM KC mengangkat judul “Pembuatan Shark Amphibi Drones Berbasis Artificial Intelligence untuk Pendeteksi Illegal Fishing Kapal Asing yang Melintasi Perairan Batas Laut Antar Negara”.
PKM-KC sebagai platform yang tepat untuk mengasah keterampilan mahasiswa sebagai penelitian dan pengembangan produk berbasis teknologi. Saat ini progres desain drone dan sistem kecerdasan buatan sudah dalam tahap pengujian.
Menurut Yustina, kasus illegal fishing oleh kapal asing di perairan Indonesia merupakan masalah serius yang mengancam keberlanjutan sumber daya laut.
Melalui pengalaman dan diskusi dengan para nelayan serta pengamatan langsung, Tim IDAS menyadari teknologi pengawasan yang ada selama ini belum cukup efektif dalam mendeteksi dan mencegah aktivitas illegal fishing.
“Jadi kami membuat Drone Amphibi Shark untuk membantu mengawasi perairan. Drone ini mampu bertahan terbang 10 menit dengan jangkauan 500 m untuk mendeteksi kapal asing. Dilengkapi dengan kamera dan sensor sonar, menggunakan sistem AI (artificial intelligence) untuk analisis dan identifikasi objek secara real-time, serta mampu berkomunikasi jarak jauh untuk pengendalian dan pemantauan,” beber mahasiswa asal NTT ini.
Arti nama “Drone Amphibi Shark” tidak main-main. Diambil dari konsep drone yang mampu beroperasi di dua lingkungan berbeda, yaitu udara dan air.
“Shark” menggambarkan ketangguhan dan kemampuan deteksi yang tajam. Ini mirip dengan ikan hiu yang dikenal sebagai predator laut yang handal.
Tim IDAS ingin drone mereka memiliki keunggulan dalam mendeteksi kegiatan ilegal di perairan, mirip tingkah laku hiu saat mendeteksi mangsanya.
“Drone Amphibi Shark” dirakit dari berbagai komponen. Antara lain: komponen utama drone (motor, propeller, frame), sensor pendeteksi (kamera, sonar, lidar), komponen AI dan komputer mini (Raspberry Pi, modul AI), sistem komunikasi (modul GPS, radio transmitter), serta material tahan air untuk bagian amfibi.
Menurut Melania Neldis Luin, proses pembuatan drone dimulai dengan tahap perancangan dan simulasi desain menggunakan software CAD. Setelah desain final, dilanjut ke tahap pembuatan prototipe dan pengujian komponen.
Analisis dilakukan secara berkala untuk memastikan drone berfungsi sesuai spesifikasi, terutama dalam kondisi perairan yang menantang. Proses pembuatan melibatkan pemrograman sistem AI untuk pendeteksian objek dan integrasi sensor-sensor yang digunakan.
“Drone akan berpatroli di area perairan tertentu. Saat mendeteksi kapal asing yang mencurigakan, drone akan mengirimkan data real-time ke pusat pengendalian. Sistem AI di dalam drone menganalisis data sensor dan kamera untuk memastikan aktivitas illegal fishing sebelum mengirimkan peringatan ke pihak berwenang,” jelasnya.
Dalam membuat drone tantangan yang paling sulit adalah menyeimbangkan drone, mengintegrasikan komponen AI dengan sensor di air.
Untuk mengatasinya mereka melakukan banyak pengujian dan kalibrasi di lingkungan yang berbeda, baik di darat maupun di air. Hal ini untuk memastikan drone dapat berfungsi optimal dalam berbagai kondisi.
“Selain itu, kami juga menghadapi tantangan dalam membuat material drone yang tahan air namun tetap ringan dan mampu terbang dengan stabil. Solusinya kami menggunakan kombinasi material komposit yang ringan dan kuat serta melakukan banyak uji coba pada prototipe,” imbuhnya.
Tim IDAS berharap kedepannya proyek ini dapat terus dikembangkan sehingga mampu memberikan kontribusi nyata dalam menjaga perairan Indonesia dari aktivitas illegal fishing dan memajukan teknologi pengawasan maritim. (abs)