Opini
Merancang Kebutuhan Bertanding, Kecerdasan dan Pengambilan Keputusan Pesepakbola Usia Dini

Dalam Grassroots Handbook Asian Football Confederation (AFC) disebutkan, standar kebutuhan bertanding pesepakbola usia dini setiap tahunnya mencapai 25-30 kali. Kelompok usia dini atau yang sering disebut Fase Grassroots menurut Federation International Football Association (FIFA) adalah kelompok anak-anak dengan rentang usia 6 hingga 12 tahun.

Jumlah bertanding yang direkomendasikan FIFA tersebut, sudah seharusnya menjadi rujukan bagi pengelola sepak bola usia dini seperti Sekolah Sepak Bola (SSB), akademi dan sejenisnya.

Mereka harus mampu merancang kebutuhan bertanding siswanya dalam kurun waktu satu tahun secara terencana, bertahap dan berkelanjutan.

Selama ini, cara yang ditempuh pengelola wadah pembinaan usia dini dilakukan dengan dua cara, yakni mengikutserakan pada turnamen atau pertandingan persahabatan.

Di Indonesia, turnamen kelompok usia antara 10 hingga 12 tahun hampir setiap bulan selalu ada. Untuk memenuhi target yang disarankan FIFA tidaklah terlalu sulit, tinggal bagaimana setiap wadah pembinaan itu bisa memanfaatkannya.

Penyusunan periodesasi latihan bertanding sangat beragam, ada yang dilaksanakan setiap akhir bulan, setiap tiga bulan sekali dengan model dua bulan berlatih regular dan satu bulan berikutnya digunakan untuk latihan bertanding.

Model ini dalam satu tahun bisa mendapatkan empat kali kesempatan, misalnya di bulan ketiga (Maret), bulan keenam (Juni), bulan kesembilan (September) dan bulan keduabelas (Desember).

Pengalaman penulis dalam mengelola program akademi, setiap masa bulan bertanding anak-anak bisa mendapatkan kesempatan bermain 7-8 kali. Jika diakumulasikan dalam satu tahun jumlah bermain mereka bisa mencapai 28-32 kali. Capaian ini sudah memenuhi standar yang telah ditentukan FIFA untuk usia anak-anak yang berada pada Fase Grassroots.

Fase Grassroots adalah masa belajar segala aspek dasar permainan sepak bola melalui permainan yang menyenangkan. Mulai dari belajar gerak, teknik dan taktikal dasar hingga latihan bertanding harus dilakukan dalam situasi yang menyenangkan agar anak-anak mendapat kesan positif terhadap sepak bola.

Bertanding pun termasuk bagian dari proses belajar, yaitu belajar menerapkan segala keterampilan yang diperolehnya dari proses belajar ke dalam situasi permainan yang sebenarnya. Adakalanya penampilan mereka saat bertanding tidak sesuai ekspektasi pelatih maupun orang tua. Sesuatu yang sangat wajar, karena menurut teori belajar gerak mereka sedang berada pada tahapan belajar asosiatif, bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang masih berada pada tahapan belajar kognitif. Oleh sebab itu jangan berharap berlebihan terhadap penampilan mereka di lapangan.

Sering kali terjadi di lapangan, orangtua berteriak memberikan instruksi ke anaknya yang sedang bertanding. Ini adalah kebiasaan buruk yang akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan anak selanjutnya.

Dampak buruknya adalah anak akan mengalami ketergantungan didalam pengambilan keputusan. Suatu saat jika tidak ada teriakan instruksi dari luar lapangan, dipastikan anak akan kebingungan menghadapi situasi permainan karena keputusan yang diambil selama ini terbiasa tidak diproses dari dirinya sendiri.

Ketika anak bermain, satu hal yang perlu disadari adalah anak sedang belajar mengambil keputusan. Biarkan anak belajar mengambil keputusan sendiri sesuai situasi yang dihadapinya di lapangan.

Latihan bertanding yang dirancang secara sistematis bukan hanya akan meningkatkan kemampuan fisik, teknik dan taktik anak, tetapi juga akan menempa mental bertanding anak menjadi kuat.

Kecerdasan membaca permainan akan terus terasah sejalan dengan tumbuh kembangnya anak. Pemain dikatakan memiliki kecerdasan bilamana dia mampu mempergunakan keterampilannya pada waktu dan ruang yang tepat sehingga dia mampu memberikan kontribusi nyata pada permainan timnya.

Beberapa ahli seperti David Wecshlet, Donald Stener dan Gadner menyatakan, pada dasarnya kecerdasan itu terkait dengan kemampuan memecahkan masalah yang diakhiri dengan produk yang diharapkan.

Pentingnya kecerdasan dalam permainan sepak bola disampaikan legenda sepak bola Italia, Andrea Pirlo. “Sepak bola adalah permainan otak, kaki hanya sebagai alatnya,” ungkap pemain yang lama bermain di Juventus itu.

Kemudian Horst Wein, penulis buku Small Side Game to Develop Soccer Intelligence menyatakan, dalam sepak bola satu ons (ounce) kecerdasan lebih berharga dari satu kilogram otot. Dibagian lain disebutkan, dalam permainan sepak bola separo kehilangan bola banyak disebabkan pemain salah mengambil keputusan, bukan karena tekniknya yang jelek.

Memperhatikan pendapat para ahli di atas, kiranya perlu bagi anak-anak usia dini untuk dibiasakan belajar mengambil keputusan secara tetap melalui latihan-latihan permainan yang menyerupai permainan sepak bola yang sebenarnya. Mulai dari permainan di area terbatas 3 lawan 3, 4 lawan 4 hingga 7 lawan 7 dengan faktor kesulitan yang terus meningkat akan mengasah anak mengembangkan kecerdasannya.

Jangan terlalu banyak dihentikan ketika mereka sedang berlatih, biarkan mereka berkreasi dan melakukan improvisasi dalam rangka mengambil keputusan yang tepat pada situasi yang sedang dihadapinya. Kebiasaan yang dilakukan dalam permainan kecil terbatas tersebut selanjutnya secara bertahap dan terprogram diarahkan ke permainan yang sebenarnya, baik dalam bentuk turnamen ataupun pertandingan persahabatan. (*)

Penulis : Imam Syafii – Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Universitas Negeri Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *