Opini
Sepak Bola Usia Dini, Bukan Masalah Menang dan Kalah
Pembinaan sepak bola usia dini, yang dikenal dengan istilah Grassroots lebih mengedepankan pengenalan dan pengembangan keterampilan dasar permainan sepak bola yang dikemas dalam suasa menyenangkan bagi anak-anak.
Dalam berbagai referensi, termasuk dalam dokumen FIFA, usia Grassroots terbentang antara 6-12 tahun. Pada rentang usia tersebut, belum ada target mencari kemenangan dan juara ketika bertanding pada sebuah turnamen. Hasil yang dicapai dalam suatu pertandingan saat itu merupakan gambaran kemampuan anak sebagai hasil belajarnya.
Pada fase Grassroots anak-anak sedang berada pada tahapan belajar kognitif dan assosiatif dengan kata kunci pengulangan. Proses belajar gerak dasar harus dilakukan secara berulang ulang untuk mencapai standar penguasaan yang diharapkan. Pada fase kognitif, seorang anak belajar mengingat, mengambil keputusan dan memecahkan masalah yang dihadapi di lapangan.
Suatu ketika, misalnya ada bola yang datang dari arah depan dan harus diperebutkan dengan lawan bermainnya, maka dia belum bisa mengambil keputusan secara otomatis. Dia akan mengingat kembali pengalamannya terlebih dahulu ketika menghadapi situasi tersebut, baru mengambil keputusan.
Untuk membiasakan mengambil keputusan dengan cepat itu, seorang anak harus melakukannya secara berulang-ulang melalui latihan yang terencana. Tujuannya agar anak dapat terus meningkat kemampuannya dalam memecahkan masalah terhadap situasi yang terjadi di lapangan. Frekuensi atau seberapa sering seorang anak mengulang keterampilan dasar yang dibutuhkan akan menjadi penentu kualitas hasil belajarnya.
Pada fase asosiatif, yang merupakan tahapan belajar berikutnya, seorang anak akan belajar merangkai atau menggabungkan keterampilan dasar satu dengan yang lainnya. Pada fase ini keterampilan dasar yang dimiliki seorang anak akan dipergunakan untuk kebutuhan bermain secara tim dengan pemain lainnya.
Anak sudah mulai dikenalkan untuk belajar memahami situasi permainan, apa yang harus dilakukan ketika timnya diserang atau sebaliknya. Model latihan Small Side Game, permainan kecil yang terdiri dari beberapa pemain dengan ruang yang terbatas sangat penting untuk dikenalkan pada mereka.
Penekanan latihan fisik yang harus diberikan meliputi koordinasi, keseimbangan, kelincahan, persepsi, awareness, kapasitas aerobik.
Pada aspek teknik ditekankan pada penguasaan bola seperti kontrol, mengoper dan menerima bola, menembak ke gawang, menyerang dan bertahan 1 lawan 1, balik badan (turning) dan lari dengan bola.
Untuk kebutuhan taktikal anak-anak sudah mulai dikenalkan ball possession, prinsip menyerang dan bertahan, permainan kombinasi dan membangunan permainan dari bawah atau lapangan sendiri. Sementara aspek psikologis yang perlu ditanamkan adalah motivasi, respek dan disipilin serta rasa percaya diri.
Anak-anak yang berada pada usia Grassroots sering dikatakan sebagai Golden of Age Learning, yakni masa keemasan belajar. Belajar apa? Belajar segala aspek komponen dasar yang dibutuhkan pada permainan sepak bola.
Ketika bertanding pun pada suatu turnamen mereka dalam kontek belajar. Oleh sebab itu tuntutan yang berlebihan terhadap capaian mereka sangat tidak dibenarkan. Menang dan kalah adalah bagian proses dari fase belajar mereka.
Tidak berlebihan jika Arsene Wenger, pelatih profesional asal Perancis mengatakan, di usia muda, kemenangan bukanlah hal yang terpenting, yang terpenting adalah mengembangkan kreativitas, keterampilan dan rasa percaya diri.
Di Indonesia sering kali tuntutan menang dan juara dalam mengikuti turnamen merupakan hal biasa bagi sebagian tim. Akibatnya, anak-anak diperlakukan seperti orang dewasa, baik dalam aspek latihannya maupun target yang ingin dicapai.
Bahkan tidak jarang, pencurian umur atau pemalsuan dokumen anak dilakukan, baik oleh orang tua maupun menajemen tim, karena adanya ambisi menang dan juara.
Patut menjadi perhatian semua pihak, pengakuan seorang pemain terkemuka Spanyol, yang lama membela Barcelona FC, Xavi Hernandes, “Aku dibina dan dilatih di Akademi La Masia bukan untuk menang dan juara, tapi aku dibina dan dilatih untuk berkembang dan matang di setiap usiaku. Menang, kalah, seri dan juara adalah bonusnya permainan. Biarkan anak-anak berproses merasakan pahit manisnya pertandingan, karena pertandingan itu sendiri sudah merupakan beban bagi mereka. Jangan bebani mereka harus menang dan juara”.
Tatakelola pembinaan usia dini yang baik diyakini banyak pihak akan menjadi pondasi kuat dalam pembentukan Tim Nasional yang tangguh. Sebut saja Jerman, Prancis dan Belgia, ketika tim nasional mereka terpuruk prestasinya, maka pembenahan pembinaannya dimulai dari pembinaan usia dininya.
Jerman misalnya, saat mengalami keterpurukan prestasi di level Internasional pada era 2000-2005, langkah yang ditempuh Deutscher Infussball-bund (DFB) sebagai otoritas sepak bola Jerman adalah menata kembali National Talent Center dan setiap klub profesional harus memiliki pemain binaan yang dimulai pada usia 10 tahun.
Upaya ini nampaknya berbuah manis dengan lahirnya beberapa pemain terkemuka Jerman seperti Philipp Lahm, Thomas Muller, Marco Reus dan Marcel Schmelzer. (*)
Penulis : Imam Syafii, Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Surabaya