MEMBEDAH INSTRUKSI PRESIDEN No. 3 TAHUN 2019 (3-Habis): Peningkatan Kualitas Pembinaan Usia Muda Melalui Kurikulum Terpadu
Salah satu konten penting pada Peta Jalan Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional adalah Youth Development atau pembinaan usia muda. Segala komponen yang terkait didalamnya, seperti pengembangan bakat, kompetisi, wadah pembinaan, dan pengiriman pemain berlatih ke luar negeri akan terus ditingkatkan.
Merujuk pada rencana aksi dalam rentang waktu 2020 – 2024, pengembangan bakat pemain akan dilakukan melalui wadah pembinaan yang selama ini sudah dikelola masyarakat maupun yang dikelola pemerintah melalui satuan Dinas Pendidikan di setiap daerah.
Kurikulum Sekolah Sepak Bola (SSB), Sekolah Khusus Keberbakatan Olahraga (SKO), Pusat Pendidikan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) dan sentra pembinaan lainnya akan terus ditingkatkan agar nantinya bisa menghasilkan pemain yang lebih berkualitas.
Nampaknya rencana aksi tersebut, hingga kini belum dirasakan para pelaku pembinaan usia muda di tanah air. Kurikulum Pembinaan Sepak Bola Indonesia, yang didalamnya memuat Filosofi Sepak Bola Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan Filanesia sampai saat ini belum rampung pemutakhirannya. Keberadaan kurikulum ini sangat berarti bagi para pelatih untuk dijadikan pedoman di dalam menjalankan tugasnya di lapangan.
Jika kita mau menjadikan Belgia sebagai referensi tidaklah berlebihan. Negara ini telah melahirkan banyak pemain top dunia dengan menempatkan kurikulum pembinaan sebagai awal revolusi kemajuannya.
Adalah Michel Sablon, Direktur Teknik Asosiasi Sepak Bola Kerajaan Belgia itu pantas disebut sebagai figur sentral dalam kemajuan sepak bola Belgia.
Sebelum merombak total kurikulum sepak bola Belgia, Sablon terlebih dahulu melakukan studi banding ke Belanda dan Perancis. Kemudian bekerja sama dengan Universitas Brussel dan Catholique de Louvain untuk mengaudit dan mengembangkan program yang tertuang dalam kurikulum yang disusunannya.
Prioritas utamanya adalah memperbaiki sistem pembinaan usia dini dan muda. Penerapan model latihan Small Side Game ( 2 v 2, 5 v 5, 8 v 8) di setiap jenjang usia pembinaan dan mengubah formasi dasar permainan dari 4-4-2 ke 4-3-3 benar-benar dikawal di setiap jenjangnya.
Apa yang dilakukan Belgia akhirnya mampu melahirkan pemain berkelas dunia seperti Eden Hazard, Romelu Lukaku, Vincent Kompany, Mousa Dembele dan Axel Witsel.
Masih dalam rencana aksi, pemerintah melalui Kementrian Pemuda dan Olahraga akan menambah jumlah PPLP dan SKO sebagai sentra pembinaan pemain pelajar. Tujuannya agar siswa yang punya prestasi di sepak bola tetap terfasilitasi kegiatan belajarnya.
Faktanya saat ini, ketika seorang anak mengikuti kompetisi nasional yang waktunya relatif lama, seperti Elite Pro Academy (EPA) praktis anak-anak kegiatan belajarnya terganggu dan tidak semua sekolah memberikan ijin terhadap kegiatan siswanya yang berprestasi.
Pada kondisi seperti ini, kiranya perlu ada kebijakan yang melibatkan berbagai pihak terkait. Misalnya, siswa yang sedang mengikuti pertandingan di luar daerahnya bisa menjadi siswa tamu di satu sekolah, dimana pertandingan itu dilaksanakan. Dengan demikian, siswa tersebut tidak terlalu tertinggal mata pelajarannya. Disinilah perlunya keterpaduan antara kurikulum sepak bola dengan kurikulum pendidikan.
Kompetisi menjadi perhatian dalam rangka pengembangan Youth Development. Kompetisi merupakan ruh pembinaan. Ketika kompetisi berjalan, bukan hanya pemain yang mendapat manfaat, tetapi pelatih, wasit dan perangkat pertandingan juga mendapat manfaat untuk pengembangan potensinya.
Dalam Peta Jalan Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional disebutkan, kompetisi pada 2024 akan ditambah kategorinya, yaitu festival usia 9 tahun hingga 12 tahun. Kebutuhan bertanding menjadi suatu keniscayaan bagi pengembangan kemampuan bermain anak. Teknik, taktik, fisik dan mental mereka akan terus terasah secara berjenjang dan berkelanjutan.
Menurut kurikulum FIFA, kebutuhan bertanding anak-anak usia 10-12 tahun sudah harus bertanding dalam pertandingan resmi sebanyak 20-25 kali, 14 tahun 25-30 kali dan 16 tahun 35-40 kali.
Problem terbesarnya adalah tidak semua asosiasi yang berada di Kabupaten atau Kota menyelenggaran kompetisi usia dini dan muda. Untungnya masih banyak pegiat SSB yang menyelenggarakan dalam bentuk turnamen, sehingga kebutuhan pengalaman bertandingnya anak-anak masih bisa terpenuhi.
Namun, untuk kelompok usia yang sudah menggunakan lapangan besar pelaksanaannya sangat jarang, karena terbentur dengan biaya penyelenggaran yang relatif besar. Penyelenggara bilangnya proyek rugi kalau menyelenggarakan turnamen yang sudah menggunakan lapangan besar.
Pengiriman pemain untuk berlatih dan berkarir di luar negeri sangat diharapkan pemerintah untuk berkelanjutan. Saat ini, terdapat program Garuda Select sebagai wadah pemain terseleksi Indonesia untuk menimba ilmu di luar negeri.
Program ini merupakan kerjasama PSSI dengan Mola TV yang dirancang untuk membentuk pemain agar memiliki standar permainan sesuai kebutuhan sepak bola modern.
Turunnya Inpres No. 3 Tahun 2019 sangat diharapkan terimplementasikan dengan baik oleh para pelaku sepak bola di tanah air. Tentunya kembali kepada keseriusan dan ketersediaan dana dari pemerintah melalui kementrian dan lembaga yang telah ditunjuk dalam Inpres tersebut. (*)
Penulis : Imam Syafii – Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Universitas Negeri Surabaya.