MEMBEDAH INSTRUKSI PRESIDEN No. 3 TAHUN 2019 (2): Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia

Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional membutuhkan upaya komprehensif dan sungguh-sungguh. Banyak faktor terkait didalamnya, sehingga upaya ini harus dijalankan secara simultan dengan mempertimbangkan skala prioritas.

Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), seperti pelatih, perangkat pertandingan, ahli yang tergabung dalam Team Behind Team: ahli gizi, dokter, therapis, psikolog dan ahli teknologi informasi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian yang diharapkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2019.

Bukan tidak penting belajar mengelola sepak bola ke negara di kawasan Eropa atau Amerika Latin, tetapi lebih realistis kiranya kalau belajar ke negara kawasan Asia, karena lebih memiliki kedekatan kultur dengan Indonesia.

Jepang misalnya, dapat dijadikan referensi, karena negara ini telah 7 kali mengikuti Piala Dunia dan 4 kali juara Piala Asia.

Bagaimana mereka bisa meraih prestasi itu, sedangkan sepak bola profesionalnya baru dimulai tahun 1990-an, itupun banyak belajar dari Indonesia.

Mengapa sekarang Jepang melesat jauh meninggalkan Indonesia? Dari sisi peringkat FIFA, Jepang saat ini berada di posisi 17 dan Indonesia 134.

SDM di bidang kepelatihan memiliki peran sentral pada proses pembinaan. Indonesia saat ini masih memiliki 20 pelatih berlisensi A Pro AFC, sedangkan Jepang sudah memiliki 700 pelatih (Tempo.com, 2019).

Di Jepang, di bawah lisensi D masih ada kategori lisensi Kids Leader, khusus menangani anak-anak usia di bawah 10 tahun. Kemudian ada Lisensi A U-12 yang khusus untuk menangani anak-anak kelompok usia di bawah 12 tahun. Ini yang bisa menjadi pembeda antara Indonesia dan Jepang dalam pengelolaan SDM pelatihnya. Perbedaan ini akhirnya berdampak pada produk pembinaan yang dihasilkan kedua negara.

Persoalan mendasar pada sektor pengembangan SDM kepelatihan di Indonesia adalah mahalnya biaya kursus. Pelatih Sekolah Sepak Bola untuk memperoleh sertifkat lisensi D harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 3.500.000,- dan lisensi C Rp. 10.000.000.

Bila seorang pelatih hendak berkarir pada level yang lebih tinggi, maka harus mengambil lisensi B yang biaya kursusnya mencapai Rp. 30.000.000 dan lisensi A sekitar Rp. 45.000.000. Sementara untuk lisensi A Pro AFC biaya yang harus dikeluarkan peserta mencapai Rp. 240.000.000.

Melihat kenyataan ini seharusnya pemerintah bisa mengambil peran dengan meringankan biaya pelaksanaan kursus pelatih di semua level.

Bahkan untuk pelatih yang berkecimpung di Sekolah Sepak Bola bisa dibuatkan program kursus gratis, mengingat pada tingkatan ini mayoritas orientasinya masih bersifat pengabdian, belum ada standar gaji yang jelas.

SDM lain yang mendapat perhatian pada Inspres ini adalah peningkatan kuantitas dan kualitas perangkat pertandingan, khususnya wasit yang bersertifikat internasional.

Saat ini Indonesia hanya memiliki 3 wasit bersertifkat FIFA, yakni Thoriq Al Katiri, Yudi Nurcahya dan Ryan Nanda Saputra dan asisten wasit sebanyak 7 orang, Muhammad Akbar Jamaludin, Beni Andrianko, Fajar Furqon, Azizul Alimmudin Hanafiah, I Gede Selamet Raharja, Nurhadi dan Bambang Syamsidar.

Jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara jumlah wasit Indonesia yang bersertifikat FIFA masih kalah dengan Thailand, Vietnam dan Myamar.

Thailand saat ini memiliki 9 wasit di FIFA dan 5 wasit berlisensi Video Assistant Referee (VAR) dan memiliki 11 asisten wasit. Sementara Vietnam dan Myanmar sama-sama memiliki 7 wasit yang sudah bisa bertugas pada pertandingan resmi yang digelar FIFA.

Minimnya kuantitas dan kualitas wasit di Indonesia berdampak pada pemenuhan kebutuhan kompetisi nasional yang digelar PSSI. Seringnya terjadi keributan di lapangan tidak lepas dari kualitas dan integritas wasit yang ditugaskan.

Tidak jarang wasit menjadi bagian dari mafia bola yang bisa mengatur hasil pertandingan. Oleh sebab itu, PSSI mengambil langkah tegas dalam menyeleksi wasit yang akan ditugaskan pada Liga 1 dan 2 musim kompetisi 2023/2024, yakni bekerjasama dengan federasi sepak bola Jepang. Tujuannya agar didapatkan wasit yang benar-benar memenuhi standar untuk bertugas pada kompetisi profesional.

Keterlibatan dalam sepak bola bukan hanya sebatas pelatih dan wasit. Perkembangan sepak bola telah menuntut berbagai disiplin ilmu terlibat di dalamnya.

Penerapan sport science menjadi sebuah keniscayaan, karena itu peningkatan SDM pendamping tim yang lazim dalam sepak bola disebut Team Behine Team wajib terus ditingkatkan.

Para ahli di bidang kesehatan, teraphis, psikologi, gizi dan teknologi informasi diarahkan untuk lebih spesifik mendalami pengetahuannya yang dikaitkan dengan kebutuhan sepak bola. (*/bersambung)

Penulis: Imam Syafii, Dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan Universitas Negeri Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *