Pakar Ekonomi Sebut Pekerja Keterampilan Rendah Bisa Terancam AI

SURABAYA, SURYAKABAR.com – Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) memiliki potensi memperbesar ketimpangan dan mengakibatkan 40 persen pekerjaan hilang.

Pekerjaan-pekerjaan itu terprediksi banyak digantikan AI. Bagaimana ancaman AI terhadap stabilitas ketenagakerjaan di Indonesia?

Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Sri Herianingrum SE MSc menyebut, ancaman-ancaman itu akan menyasar pada pekerjaan yang hanya membutuhkan keterampilan rendah. Semua pekerjaan itu dapat tergantikan dengan otomatisasi teknologi, seperti robot.

“Pekerjaan skill rendah yang bisa dilakukan otomatis dengan robot dan seterusnya itu juga akan mengurangi jumlah tenaga kerja pula. Contohnya, pekerjaan di sektor jasa, terutama yang melibatkan tugas-tugas rutin dan repetitif (berulang),” ujar Prof Sri, Selasa (23/4/2024).

Baca Juga:  Kemendag Bantu Akses Pemasaran Produk UMKM ke Pasar Internasional

Menurut Prof Sri, penggunaan AI dalam lembaga perbankan juga dapat mengarah pada pengurangan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk tugas-tugas administratif dan layanan pelanggan.

“Akibatnya, tentu akan ada pengurangan pekerjaan dengan sistem otomatis oleh AI,” ungkapnya.

Prof Sri menegaskan, harus ada perhatian yang berlebih pada upaya menghadapi dampak AI. Meskipun adopsi kecerdasan buatan dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan, hal itu juga dapat menyebabkan pergeseran struktur pasar ke arah perusahaan yang lebih mengandalkan modal dan teknologi (kapital intensif).

Baca Juga:  UMM Bangun Gedung Kuliah Bersama Berbasis Smart and Green Building
Baca Juga:  Bank Indonesia Perkuat Sinergi Jaga Stabilitas Ekonomi di Jatim

Hal ini dapat mengarah pada peningkatan kesenjangan antara perusahaan besar dan kecil serta menengah. Serta, meningkatkan kesulitan bagi pekerja dengan keterampilan rendah untuk mendapatkan pekerjaan.

“Perlu dipastikan bahwa penggunaan kecerdasan buatan tidak menciptakan hambatan bagi pekerja yang memiliki keterampilan rendah dalam mencari pekerjaan. Dan, penerapan teknologi ini sejalan dengan upaya menjaga keseimbangan antara produktivitas yang tinggi dengan perhatian terhadap kesejahteraan tenaga kerja serta kebijakan modal,” terang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB Unair) itu.

Prof Sri menambahkan, pemerintah harus memperhatikan tantangan pasar yang timbul akibat adopsi kecerdasan buatan. Selain itu, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengawasi serta mengatur penggunaannya.

“Pemerintah juga perlu memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan kepada tenaga kerja untuk mempersiapkan mereka menghadapi perubahan dalam pasar kerja yang disebabkan kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan,” pungkasnya. (aci) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *