Kekerasan Digital Terhadap Jurnalis Jadi Bahasan Utama Dialog yang Digelar Forwas
SIDOARJO, SURYAKABAR.com – Isu kekerasan fisik terhadap jurnalis yang beralih menjadi kekerasan digital menjadi pembahasan serius dalam dialog yang digelar Forum Wartawan Sidoarjo (Forwas), Rabu (7/9/2022).
Tiga nara sumber dihadirkan dalam acara cangkruk bareng wartawan Sidoarjo bertajuk Ngobrol Tentang Kebebasan tersebut. Mereka adalah Ketua AJI Surabaya Eben Haizer, Ketua IJTI Surabaya Lukman Rozak, dan pengacara Sunarno Edy Wibowo.
Sejumlah peristiwa kekerasan yang menimpa jurnalis di berbagai daerah dibahas para nara sumber. Seperti tindakan represif, tindakan diskriminatif saat peliputan, hingga kekerasan yang dialami jurnalis dalam bentuk verbal, non verbal, dan secara digital.
Eben Haizer dalam kesempatan ini menerangkan bagaimana risiko seorang jurnalis di era percepatan informasi seperti sekarang ini. Ia mengatakan, bentuk-bentuk represif dan kekerasan baik verbal, non verbal dan digital yang dialami jurnalis adalah salah satu tindakan nyata dari pembungkaman kebebasan pers.
“Tidak hanya fisik dan verbal. Sekarang, jurnalis juga sering mendapat kekerasan secara digital. Ini mudah dilakukan kalau kita tidak hati-hati dengan potensi ancaman yang bisa terjadi pada kita,” kata Eben.
BACA JUGA:
Selain itu ia menekankan, seorang jurnalis wajib mengetahui dan memiliki protokol keselamatan. Hal ini menurutnya dipandang perlu, karena kerja jurnalistik sangat dekat dengan konflik kepentingan maupun konflik dengan penguasa.
“Selain harus aware dengan kekerasan digital yang kerap terjadi, menurut saya solidaritas di tengah represifitas digital antar sesama jurnalis juga sangat diperlukan,” imbuhnya.
Lebih jauh, Lukman Rozak banyak berbicara terkait kebebasan pers yang berimbang sesuai kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik sebagai jurnalis.
Dalam keterangannya, wartawan Trans TV tersebut mengatakan, seharusnya kebebasan pers yang ada saat ini juga harus diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni.
“Kebebasan pers jika tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang bagus, akhirnya kebebasan ini jadi kebablasan dan tidak bertanggung jawab,” ujar Lukman.
Selain itu ia juga menekankan, pentingnya mematuhi kode etik dalam dunia jurnalistik agar kebebasan pers yang digaungkan selama ini bisa dipertanggungjawabkan.
Sementara itu Sunarno Edy Wibowo dalam kesempatan ini secara garis besar memaparkan tentang dasar hukum dalam dunia pers, ketentuan-ketentuan kinerja jurnalis di mata hukum, dan aspek pidana yang dapat terjadi.
“Semuanya ada ketentuannya. Mulai dari ketentutan umum hingga khusus bagi seorang jurnalis dan perusahaan media. Misalnya, ketika berbicara mengenai pelarangan atau dalam hal ini menghalang-halangi kinerja jurnalis, hal itu ada di pasal 18 UU pers yang ancaman hukumannya 2 tahun,” papar pria yang akrab disapa Prof Bowo tersebut.
Dalam ketentutan perundang-undangan, imbuh Bowo, untuk melindungi jurnalis dari pelanggaran, tentunya perusahaan media juga harus berbadan hukum yang legal.
“Jadi ketika berbicara soal kebebasan kita juga harus tahu, perusahaan media harus berbadan hukum,
Itu semua ada di UU pers pasal 40 tahun 1999,” katanya.
Bowo juga mewanti-wanti bagi seluruh jurnalis khususnya yang ada di Sidoarjo, kebebasan pun tidak boleh kebablasan dan menghilangkan kode etik dan kaidah jurnalistik yang benar didalamnya.
Di akhir statemennya, Prof Bowo mengatakan, jurnalis atau wartawan merupakan profesi yang mulia jika dibarengi dengan pemahaman tentang kode etik dan kaidah jurnalistik yang benar. (sat)